Pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi pesta demokrasi yang jujur dan adil. Setiap pasangan calon bertarung dengan gagasan, visi, dan rencana terbaik mereka untuk membangun daerah.
Tapi bagaimana jadinya jika aturan main berubah di tengah jalan?
Jika hukum yang seharusnya menjadi pegangan malah dipermainkan?
Mari kita bicara tentang Pilkada Parigi Moutong 2024. Sejak awal, prosesnya sudah berliku-liku.
Pasangan calon nomor urut 5 awalnya dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar dan menang.
PTTUN memutuskan bahwa mereka berhak ikut dalam pemilihan. Putusan itu bersifat final dan mengikat dalam ranah hukum tata usaha negara.
Pemilihan pun berjalan. Tapi setelah hasilnya keluar, muncul sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan diajukan oleh tim pasangan calon lain, yang merasa pemilihan penuh dengan kecurangan.
MK kemudian memutuskan bahwa harus ada pemungutan suara ulang, dan yang mengejutkan, pasangan nomor urut 5 tidak boleh ikut serta.
Tunggu sebentar. Bukankah PTTUN sudah memutuskan mereka sah sebagai peserta?
Keputusan ini seperti lemparan dadu di meja judi.
Seharusnya, MK hanya mengadili sengketa hasil pemilihan, bukan masuk ke ranah pencalonan. Itu tugas PTTUN.
Jika keputusan PTTUN bisa dibatalkan begitu saja oleh MK, lalu untuk apa ada jalur hukum berjenjang?
Untuk apa ada lembaga yang khusus mengadili sengketa proses pemilihan, jika akhirnya bisa dikesampingkan seenaknya?
Inilah yang membuat kepastian hukum dalam Pilkada menjadi rapuh. Keputusan yang seharusnya final ternyata bisa berubah hanya karena tafsir yang berbeda.
Hari ini pasangan nomor 5 yang jadi korban, besok bisa pasangan lain.
Pilkada bukan lagi ajang adu gagasan, tapi pertarungan hukum tanpa ujung. Siapa yang bisa menggugat lebih jauh, siapa yang bisa mencari celah lebih besar, dialah yang menang.
Ketika hukum dipermainkan seperti ini, kepercayaan publik akan luruh.
Bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar hasil suara rakyat, jika aturan bisa berubah sewaktu-waktu?
Bagaimana calon kepala daerah bisa yakin bahwa perjuangan mereka sah secara hukum, jika keputusan yang telah mereka menangkan bisa dibatalkan dengan mudah?
Negara ini butuh kepastian hukum.
Jika ada masalah dalam pencalonan, maka ranahnya harus tetap di PTTUN.
Jika ada masalah dalam hasil pemilihan, baru MK yang berwenang. Jangan dicampuradukkan. Jangan sampai Pilkada kita berubah menjadi panggung sandiwara hukum, di mana tidak ada yang tahu pasti bagaimana akhirnya.
Demokrasi tidak boleh menjadi permainan bagi mereka yang lebih kuat dan lebih cerdik dalam mencari celah hukum. Demokrasi adalah tentang suara rakyat, tentang aturan yang jelas, dan tentang keadilan yang tidak berpihak.
Kita butuh kepastian. Bukan kepastian yang bisa diubah kapan saja, tapi kepastian yang tegak berdiri tanpa bisa digoyahkan oleh kepentingan sesaat.
Jika hukum terus dipermainkan seperti ini, maka kita semua akan menjadi korban. Bukan hanya calon kepala daerah, tapi juga seluruh rakyat yang hak suaranya bisa berubah makna hanya karena keputusan yang melampaui batas kewenangan.
Dan itu, adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita.