Enam puluh tiga kilo meter kearah selatan Tolitoli, letaknya di Desa Kayulompa Kecamatan Basidondo. Sebuah perkampungan kecil dihuni tujuh belas kepala rumah tangga, jauh dari keramain, terpencil di pelosok Kota Cengkeh.
Lugus Dalam demikian orang menyebutnya. Sekitar tiga kilo meter dari jalan utama desa, melewati jalanan berbatu dan berlobang-lobang. Becek dan licin dimusim penghujan.
Dikiri kanan pohon kakao yang hampir mati digerogoti penggerek menjadi pemandangan miris di sepanjang jalan. Konon katanya pada tahun 2013 tanaman kakao tersebut pernah coba diselamatkan lewat program gernas kakao namun entah kenapa program tumpuan harapan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Tiba di Lugus Dalam, senyum manis dan ramah tamah penduduk kampung jadi penghangat sebuah kunjunagan.
Jangan marah jika penduduk kampung tidak bisa menyebut nama Presiden Indonesia dengan benar. Harap maklum, karena memang mereka minim informasi. Jangankan menonton berita di TV listrik saja mereka tak punya.
Penduduk lugus dalam tak pernah mau menanam tanaman bulanan kecuali untuk kebutuhan sendiri.
"Susah tanam sayur-sayuran disini kalau habis dipanen hancur begitu saja, nda ada yang mau ba beli", kata Fikram, salah seorang pemuda Lugus Dalam.
Fikram hanya tamatan Sekolah Dasar, pernah belajar di sekolah menengah tapi hanya sampai kelas delapan. Sulitnya penghidupan menjadi alasannya berhenti sekolah.
"Lebih bae tare bantalan bantu orang tua cari pembeli beras", keluh Fikram.
Benar! Warga Lugus Dalam saat ini mengantungkan hidup mereka dengan menjadi tukang tarik bantalan. Pekerjaan yang mendukung maraknya ilegal loging tersebut mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain yang bisa dikerjakan untuk mendapatkan uang menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Apa yang mau diharap, coklat sudah mati. Cingkeh belum ba buah" keluh Fikram lagi.
Lugus Dalam adalah potret susahnya hidup di negeri bernatah subur yang kata orang tanah surga ini. Meskipun tongkat kayu dan batu jadi tanaman namun tetap saja mereka hidup dengan ketidak berdayaan. Mereka masih saja merana, menderita, miskin dan melarat ditengah berkah tuhan yang melimpah ruah.
Suburnya tanah tidak bisa menunjang perekonomian warga Lugus Dalam. Melimpahnya hasil tani tidak dapat mengangkat mereka dari kelamnya lembah kemiskinan. Tanam tomat banyak-banyak, hasil panennya malah busuk tidak terjual. Tanam sawi banyak-banyak, hasil panennya malah busuk tidak terjual. Tanam cabe banyak-banyak, hasil panennya juga malah busuk tidak terjual.
Terlanjur kecewa tanaman coklat mereka tak terselamatkan, warga Lugus Dalam mencoba peruntungan berkebun cengkeh. Tanaman cengkeh mereka kini berusia antara 3 sampai 5 tahun. Beberapa sudah mulai berbuah.
"Mudah-mudahan ini cingke tidak kayak coklat, mati sudah kami seumur hidup batare bantalan" ucap Fikram dengan penuh harap.
Tiba di Lugus Dalam, senyum manis dan ramah tamah penduduk kampung jadi penghangat sebuah kunjunagan.
Jangan marah jika penduduk kampung tidak bisa menyebut nama Presiden Indonesia dengan benar. Harap maklum, karena memang mereka minim informasi. Jangankan menonton berita di TV listrik saja mereka tak punya.
Penduduk lugus dalam tak pernah mau menanam tanaman bulanan kecuali untuk kebutuhan sendiri.
"Susah tanam sayur-sayuran disini kalau habis dipanen hancur begitu saja, nda ada yang mau ba beli", kata Fikram, salah seorang pemuda Lugus Dalam.
Foto: Fikram |
"Lebih bae tare bantalan bantu orang tua cari pembeli beras", keluh Fikram.
Benar! Warga Lugus Dalam saat ini mengantungkan hidup mereka dengan menjadi tukang tarik bantalan. Pekerjaan yang mendukung maraknya ilegal loging tersebut mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain yang bisa dikerjakan untuk mendapatkan uang menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Apa yang mau diharap, coklat sudah mati. Cingkeh belum ba buah" keluh Fikram lagi.
Lugus Dalam adalah potret susahnya hidup di negeri bernatah subur yang kata orang tanah surga ini. Meskipun tongkat kayu dan batu jadi tanaman namun tetap saja mereka hidup dengan ketidak berdayaan. Mereka masih saja merana, menderita, miskin dan melarat ditengah berkah tuhan yang melimpah ruah.
Suburnya tanah tidak bisa menunjang perekonomian warga Lugus Dalam. Melimpahnya hasil tani tidak dapat mengangkat mereka dari kelamnya lembah kemiskinan. Tanam tomat banyak-banyak, hasil panennya malah busuk tidak terjual. Tanam sawi banyak-banyak, hasil panennya malah busuk tidak terjual. Tanam cabe banyak-banyak, hasil panennya juga malah busuk tidak terjual.
Terlanjur kecewa tanaman coklat mereka tak terselamatkan, warga Lugus Dalam mencoba peruntungan berkebun cengkeh. Tanaman cengkeh mereka kini berusia antara 3 sampai 5 tahun. Beberapa sudah mulai berbuah.
"Mudah-mudahan ini cingke tidak kayak coklat, mati sudah kami seumur hidup batare bantalan" ucap Fikram dengan penuh harap.
Kehadiran PKH menjadi secercah harapan. Kata Fikram, seragam dan keperluan sekolah adik-adiknya dapat terpenuhi dari dana bansos ini.
Menurut anak ketiga dari tujuh bersaudara ini hanya dialah yang getol mendorong dan mendukung adik-adiknya untuk terus bersekolah.
Namun, berkat Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) yang sering diikuti mamahnya, kini orang tuanya juga telah mengerti arti pentingnya pendidikan.
Fikram berharap PKH akan terus ada. Dia tahu di luar sana ada banyak Lugus Dalam lain yang juga sangat membutuhkan bantuan Program Keluarga Harapan. Dia tahu masih banyak orang tua yang perlu didorong untuk menyekolahkan anak-anaknya.